Batik sebagai cagar budaya indonesia yang tersebar luas di dunia. Membatik, dalam arti batik tulis, tidak hanya merupakan olahraga fisik; ia memiliki makna yang mendalam dan mengandung pelajaran, harapan, dan doa. Motif batik yang digunakan oleh orang-orang Jawa kuno memiliki makna simbolik dan dapat digunakan sebagai alat komunikasi. Orang-orang Jawa kuno juga mengetahui bahwa motif batik dapat menunjukkan stratifikasi sosial dalam masyarakat mereka.
Banyak motif batik Indonesia berfungsi sebagai simbol. Pengantin pria dan wanita, serta anggota keluarga mereka, menerima kain gendongan batik tertentu yang dihiasi dengan gambar-gambar yang dimaksudkan untuk membawa keberuntungan bagi bayi. Pakaian batik sangat penting dalam beberapa upacara Jawa, seperti ketika batik kerajaan dicor ke gunung berapi. Dalam upacara naloni mitoni Jawa, calon ibu dibungkus dengan tujuh lapis batik untuk mendoakannya agar dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Batik juga sangat penting dalam upacara adat ketika seorang anak menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Pola khusus sering diberikan dalam konteks adat dan seremonial.
Pakaian Batik Adat Orang Jawa di Keraton
Batik sebagai cagar budaya Keluarga kerajaan dan bangsawan Jawa telah mengenakan batik selama berabad-abad. Hingga saat ini, batik masih digunakan dan tetap menjadi pakaian adat yang ditetapkan oleh keraton Jawa. Karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, seni membatik dibawa oleh mereka ke luar keraton dan dilakukan di mana-mana. Awalnya, ini dianggap sebagai tradisi yang hanya dapat dilakukan di dalam keraton dan dianggap sebagai simbol feodalisme Jawa. Motif batik dari setiap golongan sosial berbeda berdasarkan strata sosial dan kebangsawanan yang ada di keraton.
Para bangsawan dan abdi dalem menggunakan motif batik seperti parang rusak, semen gedhe, kawung, dan udan riris dalam upacara garebeg, pasowanan, dan penyambutan tamu kehormatan. Pada masa kolonial, kerajaan Jawa mengeluarkan undang-undang yang mengatur kebiasaan tertentu yang harus diikuti oleh orang-orang sesuai dengan kelas sosial mereka. Memerintah Kesultanan Yogyakarta dari tahun 1921 hingga 1939, Sultan Hamengku Buwono VII melarang orang biasa mengenakan pola seperti Parang Rusak dan Semen Agung.
Kostum Batik Untuk Menari Tradisional
Batik sebagai cagar budayadigunakan dalam pertunjukan tari tradisional Jawa. Kostum batik adalah komponen penting dari penampilan tari tradisional Jawa. Salah satu jenis kain yang disebut kemben adalah kain yang dikenakan dari dada hingga pinggang. Jari penari diikat dengan tapih yang dihiasi dengan motif batik khas dan diikat dengan sabuk stagen. Sampur dimasukkan ke dalam tubuh penari. Biasanya didominasi warna kuning atau merah, kain ini juga disebut Kancrik Prade. Baju bawahan terbuat dari kain batik yang panjang. Tari Jawa meliputi Bedhaya, Srimpi, Golek, Beksan, wayang wong, dan gambyong.
Upacara kelahiran (seperti tedak siten atau mitoni)
Dalam adat Jawa, upacara tujuh bulanan, juga dikenal sebagai upacara mitoni, diadakan saat calon ibu memasuki usia kandungan tujuh bulan. Dalam upacara tersebut, calon ibu harus mencoba tujuh kebaya dan tujuh kain batik. Ada aturan untuk jenis batik yang digunakan. Nilai filosofis tinggi yang terkandung dalam setiap kain batik, yang sekaligus berfungsi sebagai warisan dan harapan kepada Tuhan agar bayi yang dilahirkan memiliki kepribadian yang baik.
Semua calon ibu mesti mengenakan enam kain batik dan satu kain batik lurik. Untuk menggantikan batik ini, ada aturan: batik bermotif sederhana harus digunakan paling akhir. Aturan motifnya mencakup antara lain:
- Motif Wahyu Tumurun—Motivasi ini berpusat pada harapan agar bayi berada dalam posisi yang baik.
- Motif Cakar—Diharapkan motivasi ini akan mendorong anak untuk terus mencari rezeki.
- Motif udan liris: Anak harus memiliki karakter yang tangguh.
- Motif Kesatrian: Anak-anak diharapkan memiliki sifat kesatria.
- Motif Sidomukti: Seorang anak diharapkan memiliki kehidupan yang baik dan dihormati.
- Motif babon angrem adalah motif yang menggambarkan seekor ayam betina yang baru menetas dan berfungsi sebagai simbol kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
- Motif lurik lasem adalah yang paling mudah. Filosofi dibalik ide ini adalah bahwa hidup manusia harus sederhana. Menurut filosofi lain, ada dua garis pada batik lasem. Garis vertikal menunjukkan hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan garis horizontal menunjukkan hubungan antara manusia dan sesamanya.
Upacara Pernikahan (siraman, midodareni, akad, dan panggih)
Batik sebagai cagar budayaSetiap motif yang digunakan pada batik Jawa klasik, termasuk motif yang digunakan untuk upacara pernikahan, memiliki makna dan filosofi yang unik. Keduanya berpelai dan keluarga mereka diberi motif batik tertentu dalam upacara pernikahan Jawa. Seperti motif truntum, sejenis bunga berbentuk matahari, yang digunakan untuk upacara midodareni, yang merupakan malam terakhir sebelum anak berpisah dengan orang tuanya. Orang tua kedua mempelai juga menggunakan motif ini saat upacara panggih, yang merupakan pertemuan kedua mempelai setelah dipingit. Jika orang tua kedua memakai motif truntum, itu melambangkan kasih sayang yang tak pernah berakhir dari orang tua kepada anak mereka.
Untuk acara pernikahan, Anda dapat menggunakan beberapa motif batik, seperti grompol (semoga keberkahan dan masa depan gemilang bagi kedua mempelai), motif Sidho asih (semoga kedua mempelai saling mencintai), motif Sidho luhur (semoga kedua mempelai memiliki budi pekerti yang luhur dan terpuji), dan motif ceker ayam (semoga kedua mempelai bersemangat menikah dan diberi kesejahteraan).
Upacara kematian ( lurub layon )
Kain batik juga digunakan dalam upacara kematian di masyarakat Jawa, seperti penutup jenazah atau upacara lurub layon. Motif slobok adalah motif batik yang melambangkan kesedihan dan harapan agar arwah dapat pergi kepada Tuhan dengan mudah. Kata “slobog” berasal dari kata Jawa “lobok”, yang berarti “lepas”. Biasanya, motif segitiga berwarna hitam dan putih muncul. Kebanyakan batik besar memiliki warna dasar hitam atau cokelat yang dicampur dengan pewarna alami yang disebut soga.
Salah satu motif batik yang secara turun temurun digunakan oleh masyarakat Madura untuk kain penutup jenazah adalah motif tombak beras biren, yang terdiri dari daun biren yang dipenuhi dengan beras yang ditumpuk dengan pewarna alami. Selain itu, pencucian dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti perasan daun pepaya.